Ia mengamati, rencana pemerintah baru sekedar wacana yang tidak diiringi dengan langkah konkret, salah satunya ialah untuk menyusun mekanisme pemulangan.
Saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (17/2), Alto Luger menyampaikan kekurangan itu, yang spesifiknya mengenai metode assesment yang akan dipakai pemerintah.
"Jadi kita pertama tidak bisa memukul rata anak dibawah 10 tahun itu, dia tidak terpapar atau dia bisa dikatakan tidak radikal," kata Alto melalui sambungan telepon.
Berdasarkan pengalamannya selama 5 tahun di wilayah konflik Irak, Alto Luger menceritakan bahwa kemungkinan anak-anak terlibat aksi terorisme adalah besar. Sebab saat itu, ia sempat mengunjungi salah satu penjara kombatan ISIS, yang didalamnya terdapat tahanan anak-anak.
"Ada anak usia 8 tahun memang sudah masuk tahanan, karena didakwa sebagai turut serta dalam kegiatan teroris. Artinya ada kemungkinan anak-anak itu memang dipakai oleh ISIS," jelas Alto Luger.
"Misalnya dipakai untuk membawa logistik, atau dipakai untuk mencari intelejen, karena anak biasanya tidak dicurigai," sambungnya.
Oleh karena itu, lanjut Alto Luger, pemerintah tidak bisa asal memulangkan anak-anak eks Kombatan ISIS umur 10 tahun. Sebab selain harus dipastikan keterlibatannya, setelah itu pemerintah juga harus memastikan kesedian mereka untuk dipulangkan ke Indonesia.
"Apakah memang anak itu mau dikembalikan secara paksa? Ataukah dengan persetujuan orangtuanya? Atau kalau misalkan anaknya masih ada orangtua dan Pemerintah mau memaksakan gimana?," tutur Alto Luger.
Alto Luger pun menyampaikan kesimpulannya, bahwa pemerinah harus mengirim tim assesment ke wilayah perkampungan kombatan ISIS di Syria.
"Di
assessment dulu kira-kira anak ini dia radikal atau nggak, apakah dia terlibat atau tidak. Sehingga
treatment-nya pada saat dia sampai ke Indonesia itu bisa tepat," pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: