Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menguatkan Kebudayaan Daerah untuk Membentuk Karakter Milenial

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Minggu, 05 Mei 2019, 11:41 WIB
rmol news logo Pendidikan karakter seharusnya menjadi keniscayaan sebagai benteng memfilter nilai, pandangan dan sikap intoleransi dan radikalisme yang dapat mengarah pada kekerasan dan terorisme.

Dalam konteks itulah, pendidikan karakter saat ini menjadi bagian paling penting sebagai nilai dalam setiap pelajaran di sekolah untuk menjadikan masyarakat yang bermoral, beradab dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar dan bangsa.

Minimnya tokoh-tokoh yang bisa menjadi panutan masyarakat di negeri ini membuat para generasi milenial ini seolah-olah tidak memiliki panutan.

Pengamat pendidikan nasional, Darmaningtyas mengatakan bahwa seharusnya pendidikan karakter pada era sekarang ini, mau tidak mau harus berlandaskan kepada kebudayaan yang ada di daerah setempat.

"Ini agar para anak-anak generasi milenial ini bisa mengerti mengenai apa yang menjadi budaya yang ada di daerahnya masing-masing, apalagi budaya bangsa ini sangat melimpah. Sehingga pendidikan karakter itu nantinya akan kembali tumbuh pada jiwa para generasi milenial itu," ujar Darmaningtyas di Jakarta. 

Namun sayangnya menurutnya, anak-anak muda sekarang ini sudah kurang begitu berminat kepada nilai-nilai yang sifatnya normatif. Sebab eksistensi para generasi milenial ini berasal dari dunia global.

Ia mencontohkan, di era generasi dirinya atau generasi X dulu masih ada pertunjukan kebudayaan seperti wayang. Sehingga yang menjadi referensi saat itu adalah para tokoh atau figur di dalam pewayangan yang menggambarkan mana yang baik dan mana yang buruk.
 
"Tentu beda dengan generasi sekarang ini yang referensinya sudah tidak itu lagi. Tantangan lain sekarang ini adanya serbuan media global itu juga sangat gencar. Selain itu penanaman nilai-nilai yang berlandaskan pada kebudayaan juga cenderung minim,” ujar alumni Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.

Selain itu menurutnya, kelemahan yang menjadi problem yang ada pada bangsa sekarang ini kalau membicarakan tentang pendidikan karakter selalu diidentikkan dengan pendidikan agama.

"Padahal seharusnya tidak demikian. Karena seperti kesenian, sastra, olahraga, pramuka itu mestinya bisa menjadi media untuk dijadikan sebagai wahana pendidikan karakter. Ini yang saya kira banyak tantangan dan kendalanya,” tutur pria kelahiran Gunung Kidul, 9 September 1962 ini.

Ia menjelaskan, pendidikan karakter itu sebetulnya lebih kepada menciptakan panutan. Dan di situlah peran pemerintah.
 
"Tidak usah jauh-jauh, ketika orang melihat Menteri Kelautan (Susi Pudjiastuti).Yang mana mereka melihat sosok orang yang memiliki karakter yang sangat kuat, meskipun secara formal tingkat pendidikannya bu Susi tidak terlalu tinggi,” ujarnya.

Pria yang sudah banyak menulis buku tentang pendidikan ini mengatakan, kalau sekedar ngomong tentang meningkatkan pendidikan karakter tanpa tokoh-tokohnya maka mempersulit kaum milenial untuk mencari panutan.

"Karena mereka tidak punya acuan seperti apa orang yang berkarakter itu.Apalagi para murid generasi milenial ini sudah tidak tertarik lagi untuk membaca biografi para tokoh-tokoh atau founding father (pendiri bangsa) seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Ki Hajar Dewantoro, dr Soetomo dan sebagainya," tutur Darmaningtyas yang juga pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
 
Contoh lain menurutnya seperti di dalam Pondok Pesantren (Ponpes), para santri akan lebih melihat apa yang dilakukan oleh kiai dan nyainya daripada materi yang diajarkan. Karena apa yang dilakukan para Kiai dan Nyai itu jauh akan lebih melekat kepada para santri. Demikian juga di sekolah, apa yang dilakukan oleh guru itu jauh akan lebih dikenang oleh murid daripada materi pelajarannya.

Ia mengaku agak pesimis di era sekarang ini dapat menciptakan pendidik yang berkarakter. Hal ini dipengaruhi oleh model Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan yang kualitasnya beragam, baik ada yang bagus dan ada yang ‘abal-abal’. Dan bahkan ada sekolah-sekolah yang sudah mengajarkan paham kekerasan sejak usia dini.

“Nah kalau itu nanti tanaga pendidikanya di didik di tempat abal-abal, maka mungkin nantinya juga menciptakan murid yang abal-abal. Memang agak gampang-gampang susah mencari tanaga pendidik yang benar-benar bekualitas dan memiliki karakter,” ucapnya.

Untuk itu menurutnya perlu peran semua pihak untuk bersama-sama mengawasi lembaga pendidikan agar tidak tersusupi paham-paham radikalisme atau kekerasan yang diajarkan tenaga pendidik kepada muridnya.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA