Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Masih Banyak Anak Muda Berusia 20-30 Tahun Tidak Paham Sejarah Pancasila

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 01 Oktober 2018, 16:54 WIB
Masih Banyak Anak Muda Berusia 20-30 Tahun Tidak Paham Sejarah Pancasila
Anas Saidi/Humas BNPT
rmol news logo Masyarakat Indonesia harus yakin bahwa ideologi Pancasila itu satu-satunya ideologi yang dapat mempersatukan perbedaan yang ada di Indonesia yang memiliki berbagai suku etnis dan agama.

Hal ini sebagai upaya untuk membentengi masyarakat Indonesia dari perpecahan sekaligus menangkal ideologi alternatif yang mudah masuk karena lemahnya pemahaman masyarakat yang sudah lama ‘menanggalkan’ Pancasila.

"Tanpa Pancasila kita akan kehilangan dan kemungkinan besar akan mengalami suatu keretakan dalam menyambut hari depan Indonesia. Masyarakat harus yakin pada diri sendiri bahwa hanya Pancasilalah yang bisa mempertemukan perbedaan yang ada di Indonesia ini menjadi persamaan untuk merekatkan bangsa ini dan mampu menolak paham radikal," ujar Deputi I bidang Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Anas Saidi di Jakarta.
 
Anas menjelaskan, kesaktian ideologi Pancasila itu memiliki suatu kekuatan yang dijalankan sebagai pedoman tindakan dalam bernegara. Meski di dalam sejarah, makna atau arti dari sebuah kesaktian itu  karena adanya tragedi G30S/PKI.

Dari sejarah itu menyebutkan ternyata Pancasila menjadi satu ideologi yang merupakan kekuatan masyarakat Indonesia. Namun persolan tersebut terlihat dari penerapan Pancasila yang mengalami pasang surut selama dua dekade sejak reformasi 1998.

"Ada kecenderungan absennya Pancasila di ruang publik secara intensif. Generasi milenial yang lahir tahun 2000-an umumnya tidak mengenal sejarah bagaimana Pancasila itu dilahirkan dan bagaimana para founding fathers dan mothers itu merumuskan dengan satu kebesaran nilai bangsa Indonesia," ujarnya.

Ia mengakui bangsa ini sering kali melakukan wacana yang tidak produktif, misalnya ada keinginan untuk mengembalikan Piagam Jakarta dan sebagainya. Padahal Pancasila yang sudah final seharusnya sudah tidak lagi mempersoalkan esensi dari ideologi Pancasila itu yang seharusnya tinggal menjalani.
 
"Pancasila itu adalah suatu ideologi yang mempertemukan hampir semua nilai-nilai agama yang ada di Indonesia, yang dipertemukan dalam nilai-nilai universal misalnya keadilan, kemanusiaan, kesetaraan. Pancasila juga memberikan ruang yang kita sebut sebagai kebudayaan, misalnya Bhinneka Tunggal Ika, memberikan nilai-nilai sekuler,seperti demokrasi, HAM  dan sebagainya. Jadi Pancasila itu merupakan integrasi dari nilai-nila yang secara universal menjadi pelindung masyarakat Indonesia,” ujar peneliti senior bidang Kemasyarakatan dan Kebudayaan dari LIPI ini.

Bahkan menurutnya, dengan menghayati dan mengamalkan Pancasila tentunya juga dapat mematikan paham-paham lain yang selama ini dihembuskan kelompok radikal terorisme.

"Karena itu bagi orang-orang muslim yang menjadi mayoritas moderat itu selalu mengatakan bahwa  Pancasila itu menyerupai apa yang disebut dengan piagam Madinah. Ini yang saya kira masih sering disalahpahami seolah olah bahwa yang disebut Pancasila itu sekuler, dan kemudian perlu ditata dengan apa yang disebut dengan Islam murni dan yang sebagainya," ujarnya.

Menurut dia, NU dan Muhammadiyah memiliki kewajiban untuk mengisi ruang-ruang publik untuk memberikan pencerahan bahwa Pancasila adalah jalan tengah yang paling bagus. Karena di dalam Pancasila itu tidak sekedar mengaplikasikan doktrin agama yang sesuai dengan Islam, tapi juga sesuai dengan seluruh agama yang ada di Indonesia.

"Ini masih kurang disosialisasikan dan kebetulan absennya Pancasila di ruang publik selama dua dekade di kalangan milenial ini ternyata membawa implikasi yang tidak sederhana. Anak-anak yang sekarang berumur sekitar 20- 30 tahunan umumnya tidak memahami sejarah dan esensi dari Pancasila," terangnya.

"Bisa dikatakan Pancasila itu surplus wacana, tapi defisit tindakan," imbuhnya.

Untuk itu menurutnya perlu adanya mengembalikan dan memperkuat lagi mata pelajaran di sekolah-sekolah yang berhubungan dengan Pancasila.
 
“Tapi tentu saja bahwa pendidikan Pancasila juga harus didampingi dengan pendidikan agama yang toleran, yang kemudian memberikan kebebasan kepada perbedaan keyakinan dan tidak memutlakkan tafsir yang kemudian memberikan penekanan terhadap kelompok yang berbeda dengan kalimat kalimat bid’ah,  takfiri dan lain sebagainya," ujar pria kelahiran Blitar 7 Februari 1955 ini

BPIP sendiri, menurut dia, sudah melakukan sejumlah langkah dengan membuat garis besar ideologi Pancasila yang memuat apa yang disebut dengan etos, logos dan kepercayaan. 

 "Semoga ke depan masyarakat sudah memiliki kesadaran bahwa Pancasila adalah satu-satunya ideologi yang bisa mempertemukan perbedaan, tanpa harus melakukan suatu pemaksaan," ujarnya mengakhiri.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA